Senin, 08 Mei 2023

Wawasan Kebangsaan : Sejarah Pergerakan Indonesia dan Apa itu Wawasan Kebangsaan ?

 A. Umum

Sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia membuktikan bahwa para pendiri bangsa (founding fathers) mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok atau golongan. Sejak awal pergerakan nasional, kesepakatan-kesepakatan tentang kebangsaan terus berkembang hinggga menghasilkan 4 (empat) konsensus dasar yaitu Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Indonesia sebagai alat pemersatu, identitas, kehormatan dan kebanggaan bersama.

===========================================

B.  Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia  

Fakta-fakta sejarah dapat dijadikan pembelajaran bahwa Kebangsaan Indonesia terbangun dari serangkaian proses panjang yang didasarkan pada  kesepakatan dan pengakuan terhadap keberagaman dan bukan keseragaman serta mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal 20 Mei untuk pertamakalinya ditetapkan menjadi Hari Kebangkitan Nasional berdasarkan Pembaharuan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur. 

Melalui keputusan tersebut, Presiden Republik Indonesia menetapkan beberapa hari yang bersejarah bagi Nusa dan Bangsa Indonesia sebagai hari-hari Nasional yang bukan hari-hari libur, antara lain : Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 8 Mei, Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei, Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober, Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober, Hari Pahlawan pada tanggal 10 Nopember, dan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.  

Penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional dilatarbelakangi terbentuknya organisasi Boedi Oetomo di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 sekira pukul 09.00.  Para mahasiswa sekolah dokter Jawa di Batavia (STOVIA) menggagas sebuah rapat kecil yang diinisiasi oleh Soetomo. Di depan rekan-rekannya para calon dokter lainnya,  Soetomo menyampaikan gagasan Wahidin Soedirohoesodo tentang pentingnya membentuk organisasi yang memajukan pendidikan dan kebudayaan di Hindia Belanda.   Beberapa mahasiswa yang hadir saat itu, antara lain : Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeradji, Soewarno, dan lain-lain. Tanpa mereka sadari, rapat kecil tersebut sesungguhnya menjadi titik awal dimulainya  pergerakan nasional menuju Indonesia Merdeka.   Juni 1908, koran Bataviasch Niewsblad mengumumkan untuk pertamakalinya berdirinya Boedi Oetomo.  Dalam maklumat yang ditandatangani oleh Soewarno selaku Sekretaris diumumkan bahwa : “Boedi Oetomo berdiri untuk memperbaiki keadaan rakyat kita, terutama rakyat kecil”. Oktober 1908, kongres pertama Boedi Oetomo di Gedung Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool) Yogyakarta.   Wahidin Soedirohoesodo bertindak selaku pimpinan sidang. Hanya dalam waktu 5 (lima) bulan saja, Boedi Oetomo sudah beranggotakan 1.200 orang.  Semua koran di Hindia Belanda memberitakan peristiwa tersebut.




Lebih dari 300 orang saat itu, namun dikarenakan politik etis Belanda yang memberikan perlakuan khusus pada kaum priyayi, kongres tersebut didominasi oleh para priyayi Jawa. Pemerintah kolonial Belanda menaruh perhatian pada kongres tersebut dan menyebutnya sebagai “Eerste Javanen Congres” atau kongres pertama orang Jawa. Tjipto Mangoenkoesomo, kakak dari Goenawan Mangoenkoesoemo menyampaikan gagasannya agar Boedi Oetomo menjadi partai politik, namun  gagasan tersebut ditolak sebagian besar peserta kongres. Menganggap penolakan tersebut tidak sesuai dengan tujuan awalnya pendirian Boedi Oetomo, Tjipto Mangoenkoesomo kemudian memilih aktif di Indische Partij dan dr. Soetomo kemudian mendirikan Soerabaja Stoedy Cloeb. Pada September 1909, anggota Boedi Oetomo mencapai + 10.000 orang. Kongres terakhir Boedi Oetomo tercatat pada bulan Agustus 1912 yang kemudian memilih Pangeran Ario Noto Dirodjo sebagai ketua.   

Pada 1908, beberapa mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan sebuah organisasi perkumpulan pelajar Indonesia yang bernama Indische Vereeniging (IV). Tujuan didirikan organisasi ini, menurut Noto Soeroto dalam tulisannya di Bendera Wolanda tahun 1909, adalah untuk “memajukan kepentingan bersama orang Hindia di Belanda. dan menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda”. Sebagian usul untuk membentuk perhimpunan yang akan didirikan ini menjadi cabang dari Boedi Oetomo (BO) ditolak, terutama oleh dokter Apituly dari Ambon. Penolakan ini memperlihatkan bahwa ada suatu rasa kesamaan asal di  antara mahasiswa bahwa mereka adalah “saudara sebangsa”, karena perkumpulan yang dibentuk hendaknya tidak hanya beranggotakan orang Jawa saja tetapi semua suku di Hindia Belanda.

Untuk mencapai tujuan dasar dari IV, menurut Noto Soeroto, perhimpunan akan memperkuat pergaulan antara orang Hindia di Belanda dan mendorong orang Hindiaagar lebih banyak lagi menimba ilmu ke negeri Belanda. Di awal tahun 1925 Indonesische Vereeniging mengubah namanya, menggunakan terjemahan Melayu, menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Di bawah kepengurusan ketua baru Soekiman Wirjosandjojo diputuskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia yang berusaha dicapai lewat strategi solidaritas, swadaya, dan nonkooperasi, tidak hanya perlu memperhatikan aspek “kesatuan nasional” tetapi juga “kesetiakawanan internasional”. Dalam program kepengurusan baru tersebut disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan dari PI maka propaganda asas-asas PI harus lebih intensif di Indonesia, selain itu PI menekankan pentingnya propaganda ke dunia internasional untuk menarik perhatian dunia pada masalah Indonesia dan membangkitkan perhatian anggota PI pada isu-isu internasional melalui ceramah, berpergian ke negara lain, atau perjalanan studi. Dengan munculnya inisiatif dari internasionalisasi jaringan, menurut Ali Sastroamidjojo, “mencerminkan kesadaran PI bahwa nasionalisme Indonesia tidak berdiri sendiri, faktor internasionalisme disadari sebagai unsur penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional”. Sementara itu berpendapat bahwa propaganda luar negeri penting bagi gerakan nasionalis Indonesia sebab “dunia luar sampai sekarang tidak tahu tentang apa yang terjadi di tanah air kita, sebagai konsekuensinya secara keliru dipercayai bahwa Indonesia benar-benar mendapat berkah pemerintah Belanda”.

Sebagaimana Hari Kebangkitan Nasional, tanggal 28 Oktober  untuk pertamakalinya  ditetapkan menjadi Hari Sumpah Pemuda  berdasarkan Pembaharuan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur.   Penetapan tanggal 28 Oktober sebagai Hari Sumpah Pemuda dilatarbelakangi Kongres Pemuda II yang dilaksanakan  pada tanggal 28 Oktober 1928 di Indonesische Clubgenbouw Jl. Kramat 106 Jakarta. Kongres Pemuda II sendiri merupakan hasil dari Kongres Pemuda I yang dilaksanakan  pada tanggal 2 Mei 1926 di Vrijmetselaarsloge (sekarang Gedung Kimia Farma) Jalan Budi Utomo Jakarta Pusat. Kongres tersebut diikuti oleh beberapa perwakilan organisasi pemuda di Hindia Belanda, antara lain : Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong Stundeerenden, Boedi Oetomo, Indonesische Studieclub, dan Muhammadiyah. 



Muhammad Yamin, seorang pemuda berusia 23 tahun yang saat itu menjadi Ketua Jong Sumatranen Bond,  menyampaikan sebuah resolusi setelah mendengarkan pidato dari beberapa peserta kongres berupa 3 (tiga) klausul yang menjadi dasar dari Sumpah Pemuda, yaitu :


Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah Indonesia,

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung Bahasa persatuan, Bahasa Melayu. 


Penggunaan Bahasa Melayu yang diusulkan oleh Muhammad Yamin menjadi kontroversi saat Kongres Pemuda I, barulah setelah diganti menjadi Bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda II, kontroversi tersebut dapat berakhir dan menjadi sebuah kesepakatan. Muhammad Yamin bukanlah orang pertama yang mengusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, namun memang Muhammad Yamin yang lebih sering menyampaikan gagasan tersebut. Ki Hadjar Dewantara pernah mengusulkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa persatuan  dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda pada tanggal 28 Agustus 1916.   Saat Kongres Pemuda II untuk pertama kalinya, Lagu Kebangsaan Indonesia dikumandangkan. Wage Rudolf Soepratman, seorang pemuda yang berusia 25 tahun meminta waktu kepada Soegondo Djojopoespito, pemimpin rapat saat itu, untuk memperdengarkan sebuah lagu yang berjudul “Indonesia”. Membaca syair Lagu Indonesia, Soegondo Djojopoespito menjadi khawatir. Polisi Hindia Belanda jelas akan membubarkan kongres apabila lagu tersebut dikumandangkan lengkap dengan syairnya.   Soegondo Djojopoespito kemudian memutuskan lagu tersebut hanya akan dikumandangkan secara instrumentalia tanpa syair dan Wage Rudolf Soepratman dapat menerima untuk kemudian mulai memainkan biolanya mengumandangkan Lagu Indonesia. 

Meskipun tanpa syair, lagu tersebut berhasil menggelokan semangat perjuangan para pemuda peserta kongres. Syair Lagu Indonesia pertama kali dipublikasikan pada tanggal 10 November 1928 oleh koran Sin Po, koran Tionghoa berbahasa Melayu.

Tanggal 17 Agustus ditetapkan sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 24 tahun 1953 tanggal 1 Januari 1953 tentang Hari-Hari Libur.  Dengan menyimpang dari Pasal 5 Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 2/Um, menetapkan “Aturan hari-hari libur.   Hari-hari yang disebut di bawah ini dinyatakan sebagai hari libur, antara lain : Tahun Baru 1 Januari, Proklamasi Kemerdekaan, Nuzulul-Qur’an, Mi’radj Nabi Muhammad S.A.W., Idul Fitri(selama 2 hari), Id’l Adha, 1 Muharram, Maulid Nabi Muhammad S.A.W., Wafat Isa Al Masih, Paskah (hari kedua), Kenaikan Isa Al Masih, Pante Kosta (hari kedua), dan Natal (hari pertama).

Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI diawali  dengan menyerah Jepang kepada Tentara Sekutu. Mendengar Jepang menyerah, tanggal 14 Agustus 1945 pukul 14.00, Sjahrir yang sudah menunggu Bung Hatta di rumahnya  menyampaikan pendapatnya bahwa sebaiknya Bung Karno sendiri yang menyatakan Kemerdekaan Indonesia atas nama rakyat Indonesia melalui perantaraan siaran radio. Pernyataan kemerdekaan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan dicap oleh Sekutu sebagai buatan Jepang.  Bung Hatta sendiri sesungguhnya sependapat dengan Sjahrir, namun Bung Hatta ragu, apakah Bung Karno bersedia untuk mengambil kewenangan PPKI dan sebagai pemimpin rakyat menyatakan Kemerdekaan Indonesia. 

Kemudian Bung Hatta dan Sjahrir datang menemui Bung Karno, apa yang diduga Bung Hatta ternyata benar, Bung Karno menolak. Bung Karno menyampaikan pendapatnya : “Aku tidak bertindak sendiri, hak itu adalah tugas PPKI yang aku menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan terbuka aku bertindak sendiri melewati PPKI yang kuketuai”. Tanggal 15 Agustus 1945 pagi hari, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr. Soebardjo menemui Laksamana Muda Maeda di kantornya untuk menanyakan tentang berita menyerahnya Jepang. Maeda membenarkan bahwa Sekutu menyiarkan tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu, namun Maeda sendiri belum mendapat pemberitahuan resmi dari Tokyo. 

Meyakini bahwa Jepang telah menyerah, Bung Hatta mengusulkan kepada Bung Karno agar pada tanggal 16 Agustus PPKI segera melaksanakan rapat dan semua anggota PPKI saat itu memang sudah berada di Jakarta dan menginap di Hotel des Indes. Bung Hatta menginstruksikan kepada Mr. Soebardjo  agar seluruh angggota

PPKI hadir di Kantor Dewan Sanyo Kaigi tanggal 16 Agustus 1945 pukul 10.00. Sore harinya dua orang pemuda, Soebadio Sastrosastomo dan Soebianto menemui Bung Hatta di rumahnya dan mendesak Bung Hatta sama seperti desakan Sjahrir. Bung Hatta berusah menjelaskan semua langkah yang akan dilakukan oleh PPKI dan Bung Karno. Kedua pemuda tersebut tidak mau mendengar sehingga timbul pertengkaran antara mereka dengan Bung Hatta. Kedua pemuda tersebut bahkan menuduh Bung Hatta tidak revolusioner, Bung Hatta kemudian memilih untuk tidak menanggapi kedua pemuda tersebut.

Malam harinya pukul 21.30, saat Bung Hatta sedang mengetik konsep Naskah Proklamasi untuk dibagikan kepada seluruh anggota PPKI, Mr. Soebardjo datang menemui Bung Hatta dan mengajak Bung Hatta ke rumah Bung Karno yang sudah dikepung para pemuda. Yang mendesak agar Bung Karno segera memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Bung Karno tetap pada pendiriannya dan menolak desakan para pemuda. Bung Karno menuju ke arah Wikana dan berkata : “Ini leherku, setelah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok !”.

Pagi tanggal 16 Agustus 1945, setelah makan sahur, Soekarni dan rekan-rekannya mendatangi rumah Bung Hatta, mengancam apabila Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tidak memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, 15.00 pemuda, rakyat dan mahasiswa akan melucuti Tentara Jepang, sementara Dwi Tunggal Soekarno-Hatta akan dibawa ke Rengasdengklok untuk melanjutkan pemerintahan.  Dwi Tunggal Soekarno-Hatta selanjutnya dibawa ke Rengasdengklok. Namun, sekitar pukul 18.00, Mr. Soebardjo datang untuk menjemput Dwi Tunggal Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta. Pukul 22.30, Dwi Tunggal Soekarno-Hatta menemui Mayor Jenderal Nishimura didampingi Laksamana Muda Maeda dan penterjemah Tuan Miyoshi dengan tujuan untuk memberitahukan tentang rencana rapat  PPKI tanggal 17  Agustus 1945 pukul 13.00 dikarenakan batalnya rapat PPKI tanggal 16 Agustus 1945.   Mayor Jenderal Nishimura menjelaskan bahwa Tentara Jepang harus tunduk pada perintah Sekutu untuk menjaga Status Quo. Penjelasan tersebut jelas membuat Dwi Tunggal Soekarno-Hatta marah.   Bung Hatta yang terkenal akan kesantunannya sampai berkata : “Apakah ini janji dan perbuatan Samurai ? Dapatkah Samurai menjilat musuhnya  yang menang untuk mendapatkan nasib yang kurang jelek ? Apakah Samurai hanya hebat terhadap orang lemah di masa jayanya,  hilang semangatnya waktu kalah ? Baiklah, kami akan jalan terus apa juga yang akan terjadi.    Mungkin kami akan menunjukkan kepada Tuan bagaimana jiwa Samurai semestinya menghadapi suasana yang berubah”. 

Mereka berempat selanjutnya menuju ke rumah Maeda.   Di sana sudah banyak yang menunggu baik anggota PPKI maupun para pemuda. Dwi Tunggal Soekarno-Hatta kemudian mengadakan rapat kecil bersama-sama dengan Mr. Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Melik.   Tidak seorangpun diantara mereka yang saat itu membawa Teks Proklamasi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945 atau yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Bung Karno berkata : ”Aku persilakan Bung Hatta untuk menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama”.    Bung Hatta justru menjawab : “Apabila  aku mesti memikirkannnya, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekan”.  Setelah Teks Proklamasi disepakati panitia kecil, Bung Karno mulai membuka sidang, Bung Karno berulangkali membacakan Teks Proklamasi dan semua yang hadir menyatakan persetujuan dengan bersemangat dan raut wajah yang berseri-seri.    Bung Hatta kemudian menyampaikan agar semua hadirin yang hadir saat itu untuk menandatangani Teks Proklamasi, menurut Bung Hatta Teks Proklamasi adalah dokumen penting untuk anak cucu mereka suatu saat nanti sehingga semua harus ikut menandatangani. Tiba-tiba, Soekarni maju ke depan dan dengan lantang berkata : “Bukan kita semua yang hadir di sini harus menandatangani naskah itu.   Cukuplah dua orang saja menandatangani atas nama Rakyat Indonesia, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta”.

Sekitar pukul 03.00, gemuruh tepuk tangan mengisi ruangan rapat. Sebelum menutup rapat, Bung Karno mengingatkan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 Teks Proklamasi akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya Jl. Pegangsaan Timur 56.  Saat itu Bulan Ramadhan, dimana umat Islam sedang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Pukul 10.00 Teks Proklamasi dibacakan, Sang Saka Merah Putih dikibarkan,  dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya  dikumandangkan sebagai pertanda Indonesia telah menjadi negara merdeka dan berdaulat.



Sore harinya seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) datang menemui Bung Hatta menyampaikan bahwa kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi ; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemelukpemeluknya” merupakan kalimat yang diskriminatif terhadap kelompok non Muslim. Opsir tersebut bahkan mengingatkan Bung Hatta : “Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”. Bung Hatta berpendirian bahwa Mr. A.A. Maramis salah satu anggota Panitia Sembilan  yang beragama Kristen  tidak mempersoalkan hal tersebut dan ikut menandatangani naskah tersebut.   Karena hanya mengikat pemeluk Agama Islam. 

Pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 sebelum Sidang PPKI dibuka, Bung Hatta memanggil 4 (empat) orang Tokoh Islam : Ki Bagoes Hadikoesoemo, K.H. Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan untuk membahas hal tersebut.  Mereka kemudian bermufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang dianggap diskrimatif tersebut.

Dari uraian rangkaian sejarah kebangsaan di atas, terlihat bahwa kekuatan para Tokoh Pendiri Bangsa ini (founding fathers), yaitu saat menjelang kemerdekaan untuk menyusun suatu dasar negara. Pemeluk agama yang lebih besar (mayoritas Islam) menunjukan jiwa besarnya untuk tidak memaksakan kehendaknya. Bunyi Pembukaan (preambule) yang sekarang ini, bukan seperti yang dikenal sebagai “Piagam Jakarta”. Hal ini juga terjadi karena tokoh-tokoh agama Islam yang dengan kebesaran hati (legowo) menerimanya. Di samping itu, komitmen dari berbagai elemen bangsa ini dan para pemimpinnya dari masa ke masa, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi yang konsisten berpegang teguh kepada 4 (empat) konsensus dasar, yaitu Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

===========================================

C.  Pengertian Wawasan Kebangsaan 

Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia dalam rangka mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi oleh jati diri bangsa (nation character) dan kesadaran terhadap sistem nasional (national system) yang bersumber dari Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, guna  memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara demi mencapai masyarakat yang aman, adil, makmur, dan sejahtera.

===========================================

D.        4 (empat) Konsesus Dasar Berbangsa dan Bernegara
 
1.    Pancasila 


 
Sebelum lahirnya Indonesia, masyarakat yang menempati kepulauan yang sekarang menjadi wilayah geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikenal sebagai masyarakat religius dengan pengertian mereka adalah masyarakat yang percaya kepada Tuhan, sesuatu yang memiliki kekuatan yang luar biasa mengatasi kekuatan alam dan manusia. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kepercayaan dan agama-agama yang ada di Indonesia antara kira-kira tahun 2000 SM zaman Neolitikum dan Megalitikum. Antara lain berupa “Menhir” yaitu sejenis tiang atau tugu dari batu, kubur batu, punden berundakundak yang ditemukan di Pasemah pegunungan antara wilayah wilayah Palembang dan Jambi, di daerah Besuki Jawa Timur, Cepu, Cirebon, Bali dan Sulawesi. Menhir adalah tiang batu yang didirikan sebagai ungkapan manusia atas zat yang tertinggi, yang Tunggal atau Sesuatu Yang Maha Esa yaitu Tuhan.

Rasa kesatuan sebagai sebuah komunitas juga tercermin pada berbagai ungkapan dalam bahasa-bahasa daerah di seluruh nusantara  yang mengandung pengertian “tanah air” sebagai ekspresi pengertian persataun antara tanah dan air, kesatuan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau, lautan dan udara: “tanah tumpah darah” yang mengungkapkan persatuan antara manusia dan alam sekitarnya antara bui dan orang disekitarnya. Ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” yang mengandung cita-cita kemanusiaan dan perastuan sekaligus, yang juga bersumber dari sejarah bangsa indonesia dengan adanya kerajaan yang dapat digolongkan bersifat nasional yaitu Sriwijaya dan Majapahit.

Berpangal tolak dari struktur sosial dan struktur kerohanian asli bangsa indonesia, serta diilhami oleh ide-ide besar dunia, maka pendiri Negara kita yang terhimpun dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan terutama dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), memurnikan dan memadatkan nilai-nilai yang sudah lama dimiliki, diyakini dan dihayati kebenarannya oleh manusia indonesia. Kulminasi dari endapan nilai-nilai tersebut dijadikan oleh para pendiri bangsa sebagai soko guru bagi falsafah negara indonesia modern yakni pancasila yang
rumusannya tertuang dalam UUD 1945, sebagai ideologi negara, pandangan hidup bangsa, dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia. 

Pancasila secara sistematik disampaikan pertama kali oleh Ir. Soekarno didepan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Oleh Bung Karno dinyatakan bahwa Pancasila merupakan philosofische grondslag, suatu fundamen, filsafaat,pikiran yang sedalam-dalamnya, merupaan landasan atau dasar bagi negara merdeka yang akan didirikan. Takdir kemajemukan bangsa indonesia dan kesamaan pengalaman sebagai bangsa terjajah menjadi unsur utama yang lain mengapa Pancasial dijadikan sebagai landasan bersama bagi fondasi dan cita-cita berdirinya negara Indonesia merdeka. Kemajemukan dalam kesamaan rasa dan pengalaman sebagai anaka jajahan ini menemunkan titik temunya dalam Pancasila, menggantikan beragam keinginan subyektif beberapa kelompok bangsa Indonesia yang menghendaki dasar negara berdasarkan paham agama maupun ideologi dan semangat kedaerahan tertentu. Keinginan-keinginan kelompok tersebut mendapatkan titik teunya pada Pancasila, yang kemudian disepakati sebagai kesepakatan bersama sebagai titik pertemuan beragam komponen yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Selain berfungsi sebagai landasan bagi kokoh tegaknya negara dan bangsa, Pancasila juga berfungsi sebagai bintang pemandu atau Leitstar, sebagai ideologi nasional, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai perekat atau pemersatu bangsa dan sebagai wawasan pokok bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasional. Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup paham-paham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan paham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karenasila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan beragama.

Pentingnya kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga gagasan dasar yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila harus berisi kebenaran nilai yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Dengan demikian rakyat rela menerima, meyakini dan menerapkan dalam kehidupan yang nyata, untuk selanjutnya dijaga kokoh dan kuatnya gagasan dasar tersebut agar mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Untuk menjaga, memelihara, memperkokoh dan mensosialisasikan Pancasila maka para penyelenggara Negara dan seluruh warga Negara wajib memahami, meyakini dan melaksankaan kebenaran nilai-nilali Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.   

2.     Undang-Undang Dasar 1945

Naskah Undang-Undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei sampai 16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada masa itu Ir Soekarno menyampaikan gagasan dasar pembentukan negara yang beliau sebut Pancasila. Gagasan itu disampaikan dihadapan panitia BPUPKI pada siang perdana mereka tanggal 28 Mei 1945 dan berlangsung hingga tanggal 1 Juni 1945.

Setelah dihasilkan sebuah rancangan UUD, berkas rancangan tersebut selanjutnya diajukan ke Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan diperiksan ulang. Dalam siding pembahasan, terlontar beberapa usulan penyempurnaan. Akhirnya, setelah melali perdebatan, maka dicapai persetujuan untuk diadakan beberapa perubahan dan tambahan atas rancangan UUD yang diajukan BPUPKI. Perubahan pertama pada kalimat Mukadimah adalah rumusan kalimat yang diambil dari Piagam Jakarta, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan.

Gagasan itu berlanjut dengan dibentuknya Panitia 9 yang anggotanya diambil dari 38 anggota BPUPKI. Panitia 9 dibentuk pada tanggal 22 Juni 1945. Panitia 9 mempunyai tugas untuk merancang sebuah rumusan pembukaan yang disebut Piagam Jakarta. Pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Piagam Jakarta disahkan menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 oleh PPKI. Dan kalimat Mukadimah adalah rumusan kalimat yang diambil dari Piagam Jakarta, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Sejarah kemerdekaan Indonesia yang terlepas dari penjajahan asing membuktikan bahwa sejak semula salah satu gagasan dasar dalam membangun sokoguru Negara Indonesia adalah konstitusionalisme dan paham Negara hukum. Di dalam Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-undang dasar memiliki fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga Negara terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.

Kepustakaan hukum di Indonesia menjelaskan istilah Negara hukum sudah sangat popular. Pada umumnya istilah tersebut dianggap merupakan terjemahan yang tepat dari dua istilah yaitu rechtstaat dan the rule of law. Istilah Rechstaat (yang dilawankan dengan Matchstaat) memang muncul di dalam penjelasan UUD 1945 yakni sebagai kunci pokok pertama dari sistem Pemerintahan Negara yang berbunyi “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat)”. Kalau kita lihat di dalam UUD 1945 BAB I tentang Bentuk dan Kedaulatan pasal 1 hasil Amandemen yang ketiga tahu 2001, berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
 
3.      Bhinneka Tunggal Ika 


Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Narayya Wisnuwarddhana didharmakan pada dua loka di Waleri
bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Kertanegara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra. Inilah fakta bahwa Singhasari merupaakn embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerjaan Majapahit. Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya adalah sebuah pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Di kemudian hari, rumusan tersebut telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, dan bahkan telah berhasil menumbuhkan rasa dan semangat persatuan masyarakat indonesia. Itulah sebab mengapa akhirnya Bhinneka Tunggal Ika – Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila.

Mengutip dari Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majapahit. Sementara dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak
terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan nusantara raya.

Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan BhinnaIka-Tunggal-Ia berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya satu, satu bangsa dan negara Republik Indonesia. Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara.
Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majapahit maupun pemerintah NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara. 
 
4.      Negara Kesatuan Republik Indonesia 


 
Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat dipisahkan dari persitiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, karena melalui peristiwa proklamasi tersebut bangsa Indonesia berhasil mendirikan negara sekaligus menyatakan kepada dunia luar (bangsa lain) bahwa sejak saat itu telah ada negara baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Apabila ditinjau dari sudut hukum tata negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 belum sempurna sebagai negara, mengingat saat itu Negara Kesatuan Republik Indonesia baru sebagian memiliki unsur konstitutif berdirinya negara. Untuk itu PPKI dalam
sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah melengkapi persyaratan berdirinya negara yaitu berupa pemerintah yang berdaulat dengan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, sehingga PPKI disebut sebagai pembentuk negara. Disamping itu PPKI juga telah menetapkan UUD 1945, dasar negara dan tujuannya.

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sejarahnya dirumuskan dalam sidang periode II BPUPKI (10-16 Juli 1945) dan selanjutnya disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Adapun tujuan NKRI seperti tercantuk dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, meliputi :

a.    Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia ; 

b.    Memajukan kesejahteraan umum;

c.    Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

d.  Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaianabadi dan keadilan sosial (Tujuan NKRI tersebut di atas sekaligus merupakan fungsi negara Indonesia.) 

===========================================

E. Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
 
Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu, kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1. Bendera 


Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih. Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama. Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta. 
 
2. Bahasa  



Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakandi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Bahasa Indonesia  berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

3. Lambang Negara 


Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang  mewujudkan lambang tenaga pembangunan. Garuda memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45. 

4. Lagu Kebangsaan  




Lagu Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya. Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman.

===========================================

Daftar Pustaka dan Referensi :

1. LAN RI. 2022. Modul Pelatihan Dasar CPNS Tahun 2022 tentang Wawasan Kebangsaan dan Nilai-nilai Bela Negara. Jakarta : LAN RI.

2. Amrin Imran, Saleh A. Djamhari dan J.R. Chaniago,  PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia),  Perhimpunan Kekerabatan Nusantara, Jakarta 2003. 

3. Mohammad Hatta, Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2011. 

4. Modul Prajab Sistem Administrasi Negara Republik Indonesian (SANKRI), Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2014. 

5. Dr. Agus Subagyo, S.I.P., M.Si,  Bela Negara, Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi, Graha Ilmu, Yogyakarta,  2015.

6. Kementerian Pertahanan, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2015, Jakarta 2015. 

7. Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Buku Tataran Dasar Bela Negara untuk Kader Bela Negara,  Kementerian Pertahanan Jakarta 2016. 

8. Deputi VI/Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa, Pemantapan Wawasan Kebangsaan dan Karakter Bangsa,  halaman 1, Kemenko Polhukam RI , Jakarta 2016. 

9. Seri Buku Tempo, Muhammad Yamin, Penggagas Indonesia yang Dihujat dan Dipuji, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Tempo Publishing, Jakarta 2018. 

10. Seri Buku Tempo, Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa,  KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Tempo Publishing,  Jakarta 2018. 

11. Ferry Taufik El Jaquene, Akhirnya Sang Jenderal Mengalah, Jenderal Soedirman dalam Pusaran Konflik Politik, Penerbit Araska, Yogyakarta 2018. 

12. Wildan Sena Utama, J . Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris jurnal Sejarah. Vol. 1(2), 2018: 25 – 45, Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia, UTAMA/10.26639/js.v1i2.84. 

13. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Modul Penguatan Partisipasi Perempuan Bela Negara, Jakarta 2018.